Lahir, Bandar Lampung, Sekolah dan nyantri di Pesantren, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Sekarang Aktif Berkaligrafi dan menulis Puisi.
Idul Fitri, Memaknai Kembalinya Fitrah dalam Perspektif Etimologi
Selasa, 1 April 2025 11:30 WIB
Allah menyebut Diri-Nya sebagai Al-Faatir — Sang Pemrakarsa, Sang Pencipta, Sang Pemrakarsa — sebanyak enam kali dalam Al-Quran.
- Sebuah Catatan Konstelatif, Kesan Bahasa.
Kata eid maupun ied sering digunakan dalam peringatan Hari Raya di Indonesia. Dan sesuai kaidah bahasa Arab yang berlaku untuk diketahui umat Islam, tulisan yang benar eid atau Ied.
Melacak Jejak Etimologis Bahasa, dari Kata "Fitri".
Allah menyebut Diri-Nya sebagai Al-Faatir — Sang Pemrakarsa, Sang Pencipta, Sang Pemrakarsa — sebanyak enam kali dalam Al-Quran. Dialah yang memulai dan menciptakan. Al-Faatir adalah yang memulai dan mengakhiri seluruh ciptaan dengan sempurna.
Faatir berasal dari akar kata faa-Taa-raa yang mengacu pada tiga makna utama. Makna utama pertama adalah memulai dan mengawali dan makna kedua adalah menciptakan. Makna utama ketiga adalah memecah atau membelah.
Akar kata ini muncul 20 kali dalam Al Quran dalam enam bentuk turunan. Contoh bentuk-bentuk ini adalah faTara (“Dia telah menciptakan”), infaTarat (“terbelah”), fuToorin (“cacat”) dan munfaTirun (“akan terpecah”).
Secara bahasa, fatara al-shay' berarti "dia yang memulai." Ibnu Abbas berkata: Aku tidak mengerti apa yang dimaksud dengan fatir al-samawaati wa'l-ard (Pencipta langit dan bumi) hingga dua orang Badui datang kepadaku dengan sebuah perselisihan tentang sebuah sumur, lalu salah seorang di antara mereka berkata, Ana fatartuha (Aku yang memulainya), maksudnya bahwa dialah yang pertama menggalinya.
Abu'l-'Abbaas berkata bahwa ia mendengar Ibnu A'raabi berkata: Ana awwal man fatara hadha (Akulah orang pertama yang memulai ini), maksudnya orang pertama yang memulainya. [ Taaj al-'Aroos , 1/3347]
Ini berarti bahwa akar kata faTara dan faaTir dapat digunakan untuk merujuk kepada selain Allah ' azza wa jall , namun Allah adalah satu-satunya Faatir yang benar karena setiap hal dimulai hanya dengan kehendak dan kekuasaan-Nya saja.
Al-Faatir sendiri berkata: Rasul-rasul mereka berkata, “Apakah ada keraguan tentang Allah, Pencipta langit dan bumi? (QS. 14:10) . Katakanlah, “Ya Allah, Pencipta langit dan bumi, Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, Engkau akan memutuskan di antara hamba-hamba-Mu tentang apa yang mereka selalu berselisih.” (QS. 39:46)
-
Berdoa kepada Al-Fathir.
Salah satu cara yang baik untuk memuji dan bersyukur kepada-Nya adalah dengan berdzikir kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, seperti dzikir pagi dan dzikir petang, yaitu doa yang dibaca setelah shalat Subuh dan Ashar. Salah satunya adalah:
“اللَّهُمَّ عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَاطِرَ السَّماوَاتِ
Perlindungan Lingkungan dan Perlindungan Lingkungan Layanan Pelanggan yang Baik dan Aman.
الشَّيْطَانِ وَشِرْكِهِ، وَأَنْ أَقْتَرِفَ عَلَى نَفْسِي سُوءاً، أَوْ أَجُرَّهُ إِلَى مُسْلِمٍ”
Ya Allah, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Pencipta langit dan bumi (faaTiras samaawaati wal ardh), Tuhan segala sesuatu dan Pemiliknya, aku bersaksi bahwa tidak ada yang berhak disembah selain Engkau. Aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan jiwaku dan dari kejahatan setan dan para pembantunya. (Aku berlindung kepada-Mu) dari mendatangkan kejahatan atas jiwaku dan dari menyakiti setiap Muslim [At-Tirmidhee, Abu Dawood].
Hafalkan doa yang indah ini, jadikan bagian dari rutinitas harian Anda dan hidupkan kembali sunnah! Ya Allah, Al-Faatir, kami tahu bahwa Engkau memulai, memulai, dan menciptakan. Jadikan kami dari orang-orang yang bersyukur dan dari orang-orang yang amal baiknya lebih banyak daripada amal buruknya.
Bimbing kami dalam mencari-Mu hanya untuk perlindungan, dalam mengarahkan cinta kami kepada-Mu pertama dan terutama, dan buatlah kami memanggil-Mu dengan keyakinan pagi dan sore, amin. (klik, sumber di sini).
Idul Fitri : Memaknai Kembalinya Fitrah.
Idul Fitri merupakan momen sakral yang dinanti-nantikan umat Muslim setelah menunaikan ibadah puasa Ramadhan selama sebulan penuh. Nama 'Idul Fitri' sendiri mengandung makna yang mendalam jika ditelusuri dari akar katanya. Secara etimologis, 'Fitri' berakar pada kata yang sama dengan 'fatara-yaftaru' dalam bahasa Arab, yang memiliki arti dasar "terbuka" atau "terbelah", atau lebih jelas adalah faTara (“Dia telah menciptakan”), infaTarat (“terbelah”), fuToorin (“cacat”) dan munfaTirun (“akan terpecah”).
Sebagaimana yang tersirat dalam pada frasa "Fataras samawati wal ardh" dalam doa iftitah dan, (QS. 39:46) "Katakanlah, “Ya Allah, Pencipta langit dan bumi, Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, Engkau akan memutuskan di antara hamba-hamba-Mu tentang apa yang mereka selalu berselisih.” (Yang telah menciptakan/membuka langit dan bumi), kata 'fatara' menggambarkan tindakan membuka atau membelah sesuatu yang sebelumnya tertutup atau menyatu.
Dalam konteks Idul Fitri, makna 'Yaumul Iftor' dapat dipahami sebagai hari terbukanya kembali aktivitas makan dan minum seperti biasa setelah sebulan penuh menahan diri dari hal tersebut pada siang hari. Ketika bulan Ramadhan berakhir, pintu untuk makan dan minum kembali terbuka secara penuh sepanjang hari. Inilah salah satu makna literal dari kata 'fitri' yang berkaitan dengan 'iftor' atau berbuka. Namun, pemaknaan Idul Fitri tidak berhenti hanya pada kembalinya aktivitas konsumsi seperti sedia kala.
Makna yang lebih mendalam dari konsep 'fatara' dalam konteks Idul Fitri adalah kembalinya manusia kepada fitrahnya yang suci dan murni. Bulan Ramadhan dengan segala ibadahnya merupakan proses penyucian dan pemurnian diri dari segala noda dan dosa. Pada Idul Fitri, seorang Muslim diyakini telah kembali kepada kondisi fitrahnya—keadaan suci sebagaimana ia dilahirkan ke dunia. Hal ini sejalan dengan hadits Nabi Muhammad SAW yang menyatakan bahwa orang yang berpuasa Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap ridha Allah, maka ia akan keluar dari dosa-dosanya seperti hari ketika ia dilahirkan oleh ibunya.
Terminologi 'fatara' yang juga digunakan dalam konteks penciptaan alam semesta ("Fataras samawati wal ardh") mengindikasikan bahwa Idul Fitri juga memiliki dimensi kosmologis. Sebagaimana Allah membuka atau membelah ketiadaan untuk menciptakan langit dan bumi, puasa Ramadhan telah membuka hati manusia untuk menyadari hakikat dirinya sebagai hamba Allah. Idul Fitri menjadi simbol dari terbukanya kesadaran baru tentang relasi antara manusia dan Penciptanya, antara makhluk dan Khaliknya.
Dalam tradisi keislaman, Idul Fitri juga ditandai dengan pembayaran zakat fitrah. Kata 'fitrah' dalam konteks zakat ini juga berasal dari akar kata yang sama, yang menunjukkan bahwa pembersihan diri tidak hanya dilakukan melalui pengendalian hawa nafsu selama berpuasa, tetapi juga melalui pembersihan harta dengan bersedekah kepada yang membutuhkan. Zakat fitrah menjadi simbol konkrit dari terbukanya pintu kedermawanan dan kepedulian sosial, yang merupakan manifestasi dari fitrah manusia yang pada dasarnya memiliki sifat kasih sayang dan peduli terhadap sesama.
Pemahaman etimologis tentang 'fitri' sebagai bentuk keterbukaan juga tercermin dalam tradisi silaturahim dan saling memaafkan yang menjadi ciri khas perayaan Idul Fitri. Pintu-pintu hati yang sebelumnya mungkin tertutup karena konflik atau perselisihan, kembali terbuka untuk rekonsiliasi dan pemaafan. Ungkapan "Minal 'aidin wal faizin, mohon maaf lahir batin" menjadi mantra yang menggetarkan pintu-pintu hati untuk saling terbuka dan memaafkan.
Dari perspektif kepemimpinan, makna etimologis Idul Fitri sebagai keterbukaan memiliki implikasi yang signifikan. Seorang pemimpin yang memahami hakikat 'fitri' akan menjalankan kepemimpinannya dengan prinsip keterbukaan, transparansi, dan kejujuran. Ia menyadari bahwa kepemimpinan adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah, sehingga ia membuka diri untuk dikontrol dan dikoreksi. Kepemimpinan yang 'fitri' juga berarti membuka ruang dialog dan partisipasi bagi yang dipimpin, bukan menjalankan kepemimpinan secara tertutup dan otoriter.
Dalam konteks sosiologis, Idul Fitri membuka kesempatan bagi masyarakat untuk membangun kembali kebersamaan dan solidaritas sosial yang mungkin memudar di tengah kesibukan hidup sehari-hari. Tradisi mudik, silaturahmi, dan berkumpul bersama keluarga menjadi medium untuk membuka kembali ikatan-ikatan sosial yang mungkin merenggang. Idul Fitri menjadi momentum untuk menyadari bahwa manusia pada fitrahnya adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri, yang membutuhkan kehadiran dan dukungan orang lain.
Secara spiritual, konsep 'fatara' dalam Idul Fitri mengingatkan bahwa hati manusia senantiasa perlu dibuka untuk menerima cahaya hidayah Allah. Sebagaimana langit dan bumi yang "terbuka" (fatara) oleh kehendak Allah, hati manusia pun perlu senantiasa terbuka untuk menerima kebenaran dan petunjuk-Nya. Idul Fitri menjadi pengingat bahwa setelah proses spiritual yang intens selama Ramadhan, manusia diharapkan memiliki hati yang lebih terbuka untuk kebaikan dan kebenaran.
Dari sudut pandang personal, Idul Fitri dengan makna etimologis 'keterbukaan' menjadi momentum untuk membuka lembaran baru kehidupan. Setelah proses introspeksi dan penyucian diri selama Ramadhan, Idul Fitri membuka kesempatan untuk memulai langkah-langkah baru dengan tekad dan semangat yang diperbarui. Ini adalah waktu untuk membuka potensi-potensi diri yang selama ini mungkin terpendam, sekaligus membuka pintu-pintu kesempatan yang Allah sediakan di masa depan.
Dalam epilog kehidupan setiap Muslim, pemahaman tentang makna etimologis Idul Fitri sebagai 'keterbukaan' memberikan wawasan bahwa kehidupan ini adalah proses yang terus-menerus untuk membuka diri—membuka hati untuk kebaikan, membuka pikiran untuk pembelajaran, membuka tangan untuk memberi, dan membuka jiwa untuk pertumbuhan spiritual. Idul Fitri menjadi pengingat tahunan akan proses 'keterbukaan' ini, yang pada hakikatnya adalah perjalanan kembali kepada fitrah kesucian dan kemuliaan manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi.
Idul Fitri Memaknai: Kembalinya Kepemimpinan Dalam Konstelasi Yang Fitri.
Di dalam sebuah hadits, yang diriwayatkan Jubair bin Nufair, sebagai berikut :
فعن جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ قَالَ : كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اِلْتَقَوْا يَوْمَ الْعِيدِ يَقُولُ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ : تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْك . قال الحافظ : إسناده حسن .
Dari Jubair bin Nufair, ia berkata bahwa jika para sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berjumpa dengan hari 'ied (Idul Fithri atau Idul Adha, pen), satu sama lain saling mengucapkan, "Taqobbalallahu minna wa minka (Semoga Allah menerima amalku dan amal kalian)." Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan.
Taqabbalallahu minna wa minkum sendiri merupakan penggalan dari sebuah kalimat bahasa Arab yang cukup panjang. Ucapan taqabbalallahu minna wa minkum versi lengkap sebagai berikut:
تقبل الله منا و منكم صيامنا و صيامكم جعلنا الله وإياكم من العائدين و الفائزين كل عام و أنتم بخير
Arab Latin: Taqabbalallahu minna wa minkum shiyamana wa shiyamakum wa ja'alanallahu wa iyyakum minal aidin wal faizin kullu aamiin wa antum bi khair.
Artinya: Semoga Allah SWT menerima ibadah (puasa) kita, Semoga Allah menjadikan kita semua termasuk orang-orang yang kembali (dalam keadaan suci) dan termasuk orang orang yang mendapatkan kemenangan, dan semoga Anda semuanya senantiasa dalam kebaikan setiap tahun.
Selain Suatu makna dari konteks spiritualitas beragama, Idul Fitri, di sis lain adalah, juga semangat dari konteks kepemimpinan yang dalam banyak bentuk, diantaranya seperti yang disimbolkan dalam kategori yang disebutkan hadist sebagai berikut :
Rasulullah, S.A.W. telah, Bersabda :
. أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى أَهْلِ بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَعَبْدُ الرَّجُلِ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ أَلَا فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
artinya : "Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang dipimpin. Penguasa yang memimpin rakyat banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya, setiap kepala keluarga adalah pemimpin anggota keluarganya dan dia dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya, dan istri pemimpin terhadap keluarga rumah suaminya dan juga anak-anaknya, dan dia akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap mereka, dan budak seseorang juga pemimpin terhadap harta tuannya dan akan dimintai pertanggungjawaban terhadapnya. Ketahuilah, setiap kalian adalah bertanggung jawab atas yang dipimpinnya" (HR al-Bukhari).
Kita mengetahui hari raya Idul Fitri bukan saja merupakan suatu bentuk semangat spiritualitas, bagi individu, juga dalam kontek dimana, Idul Fitri hadir bukan hanya sebagai perayaan kemenangan setelah sebulan penuh menjalani ibadah puasa, namun juga mengandung makna yang mendalam tentang esensi kepemimpinan dalam Islam.
Momen suci ini menjadi refleksi akan hadis Rasulullah SAW yang menyatakan, "Kullukum ra'in wa kullukum mas'ulun 'an ra'iyyatihi" – bahwa setiap insan adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Dalam konteks kepemimpinan, Idul Fitri menjadi momentum kembalinya kesadaran akan tanggung jawab kepemimpinan yang harus diemban oleh setiap individu, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, maupun bernegara.
Ramadhan yang telah berlalu merupakan proses pemurnian diri yang mengajarkan disiplin, kesabaran, dan pengendalian hawa nafsu. Sifat-sifat inilah yang sesungguhnya menjadi fondasi bagi kepemimpinan yang fitri – kepemimpinan yang sesuai dengan kodrat kesucian manusia. Saat takbir bergema menandai kedatangan Idul Fitri, setiap Muslim sejatinya diingatkan bahwa mereka telah kembali pada fitrah, pada keadaan suci dan bersih, yang merupakan prasyarat utama bagi tegaknya kepemimpinan yang bertanggung jawab.
Dalam konstelasi kepemimpinan yang fitri, pemimpin tidak hanya diukur dari kecakapan dan wawasannya, melainkan juga dari kesucian niatnya, ketulusan hatinya, dan keteguhan akhlaknya. Idul Fitri mengajarkan bahwa kepemimpinan bukanlah tentang kekuasaan dan dominasi, melainkan tentang pengabdian dan pelayanan. Sebagaimana puasa telah melatih kita untuk tidak mengutamakan keinginan pribadi, begitu pula kepemimpinan dalam Islam menuntut pengorbanan kepentingan pribadi demi kemaslahatan bersama.
Kepemimpinan dalam perspektif hadis "Kullukum ra'in" memiliki dimensi yang luas. Seorang ayah adalah pemimpin bagi keluarganya, seorang ibu pemimpin bagi rumah tangganya, seorang pemuda pemimpin bagi masa depannya, dan bahkan setiap individu adalah pemimpin bagi dirinya sendiri. Dalam semua dimensi ini, Idul Fitri mengingatkan bahwa kepemimpinan adalah amanah yang tidak boleh diabaikan atau disalahgunakan. Sebagaimana kita membersihkan diri dengan zakat fitrah sebelum shalat Idul Fitri, begitu pula kepemimpinan perlu dibersihkan dari pamrih dan kepentingan pribadi.
Di tengah tantangan zaman yang semakin kompleks, pesan Idul Fitri tentang kepemimpinan yang fitri menjadi semakin relevan. Krisis kepemimpinan yang kerap terjadi di berbagai level – dari keluarga hingga negara – seringkali berakar pada tercerabutnya pemimpin dari fitrahnya sebagai pelayan masyarakat. Mereka terjebak dalam pusaran kepentingan pribadi dan kelompok, melupakan bahwa kepemimpinan adalah tentang membawa manfaat bagi yang dipimpin, bukan sebaliknya.
Idul Fitri mengajak kita untuk kembali memaknai kepemimpinan sebagai bentuk ibadah dan tanggung jawab moral. Sebagaimana puasa telah mengajarkan pengendalian diri, Idul Fitri menuntun pada penerapan disiplin spiritual tersebut dalam konteks kepemimpinan sehari-hari. Seorang pemimpin yang telah merasakan lapar dan dahaga selama Ramadhan akan lebih mampu berempati dengan penderitaan rakyatnya. Seorang pemimpin yang telah terbiasa bangun malam untuk beribadah akan lebih tekun dalam mengupayakan kesejahteraan orang-orang yang dipimpinnya.
Dalam suasana silaturahmi Idul Fitri, kita juga diingatkan bahwa kepemimpinan yang efektif membutuhkan komunikasi dan hubungan yang baik. Tradisi saling memaafkan pada hari raya menegaskan pentingnya rekonsiliasi dan pemulihan hubungan dalam kepemimpinan. Pemimpin yang berjiwa besar adalah mereka yang mampu mengakui kesalahan, meminta maaf, dan memperbaiki diri – kualitas yang sangat dijunjung tinggi dalam momen Idul Fitri.
Memaknai Idul Fitri dalam konteks kepemimpinan juga berarti memahami bahwa setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya, tidak hanya di hadapan masyarakat, tetapi juga di hadapan Allah SWT. Kesadaran akan adanya hari perhitungan ini seharusnya menjadi kompas moral yang mengarahkan setiap keputusan dan tindakan seorang pemimpin. Dalam tradisi Islam, pemimpin yang adil akan mendapatkan naungan Allah di hari kiamat, sementara pemimpin yang zalim akan mendapatkan siksa yang pedih.
Idul Fitri tahun ini hendaknya menjadi momentum untuk mengembalikan makna kepemimpinan pada konstelasi yang fitri – kepemimpinan yang berakar pada kesucian niat, keluhuran akhlak, dan ketulusan pengabdian. Mari kita jadikan kemenangan setelah Ramadhan sebagai titik awal untuk memperbaiki kualitas kepemimpinan kita, dalam skala apapun, demi terwujudnya masyarakat yang adil, makmur, dan bermartabat. Sebab sesungguhnya, kembali ke fitrah dalam konteks kepemimpinan adalah kembali pada kodrat manusia sebagai khalifah – wakil Allah di muka bumi yang bertugas memakmurkan dan memeliharanya.
Setiap Muslim adalah Pemimpin: Memaknai Universalitas Kepemimpinan dalam Islam.
Islam memandang kepemimpinan sebagai konsep yang universal dan melekat pada setiap individu Muslim. Sebagaimana ditegaskan dalam hadits Rasulullah SAW, "Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang dipimpin." Hadits ini membuka paradigma baru tentang makna kepemimpinan yang tidak hanya terbatas pada jabatan formal atau kekuasaan struktural, melainkan sebagai fitrah dan tanggung jawab yang diemban oleh setiap insan dalam kapasitas dan perannya masing-masing.
Dalam perspektif Islam, kepemimpinan memiliki dimensi yang sangat luas dan berjenjang. Seorang pemimpin negara bertanggung jawab atas kesejahteraan dan keadilan bagi rakyatnya. Seorang kepala keluarga memimpin dengan penuh kasih sayang dan kebijaksanaan terhadap istri dan anak-anaknya. Seorang istri menjadi pemimpin dalam mengelola rumah tangga dan mendidik anak-anaknya. Bahkan, seorang pekerja pun adalah pemimpin dalam menjalankan tugas dan amanahnya. Keragaman bentuk kepemimpinan ini menunjukkan bahwa tidak ada seorang pun yang lepas dari tanggung jawab kepemimpinan, sekecil apapun ruang lingkupnya.
Konsep universal ini memberikan makna bahwa setiap Muslim adalah khalifah Allah di muka bumi dalam kapasitasnya masing-masing. Khalifah berarti wakil atau pengganti yang diberi amanah untuk mengelola, merawat, dan memakmurkan. Dalam konteks ini, kepemimpinan bukan sekadar tentang menguasai atau memerintah, melainkan tentang melayani, memberikan manfaat, dan menjalankan amanah. Setiap Muslim, baik yang memiliki jabatan formal maupun tidak, memiliki ruang "kekuasaan" yang harus dikelola dengan penuh tanggung jawab.
Hadits tentang kepemimpinan universal ini juga memberikan pesan moral yang mendalam tentang akuntabilitas. Kalimat "setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya" menegaskan bahwa setiap bentuk kepemimpinan, sekecil apapun, akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Kesadaran akan adanya pertanggungjawaban ini seharusnya menjadi landasan etis bagi setiap Muslim dalam menjalankan perannya sebagai pemimpin. Bagaimana seseorang memimpin dirinya, keluarganya, atau pekerjaannya akan menjadi catatan amal yang akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat.
Prinsip kepemimpinan universal dalam Islam ini juga merefleksikan nilai-nilai kesetaraan dan keadilan. Tidak ada hierarki nilai antara satu bentuk kepemimpinan dengan bentuk lainnya di mata Allah. Seorang presiden dan seorang ibu rumah tangga sama-sama memiliki nilai dan tanggung jawab kepemimpinan yang setara dalam konteksnya masing-masing. Yang membedakan hanyalah ruang lingkup dan bentuk tanggung jawabnya, bukan nilai intrinsik dari kepemimpinan itu sendiri. Prinsip ini mendobrak pandangan konvensional yang seringkali hanya menghargai kepemimpinan formal dan struktural.
Dalam praktek kehidupan sehari-hari, pemahaman akan universalitas kepemimpinan ini memberikan implikasi yang sangat luas. Seorang karyawan pabrik yang mengerjakan bagian tertentu dari produksi, misalnya, tidak sekedar bekerja untuk mendapatkan upah, tetapi ia sedang menjalankan amanah kepemimpinan atas bidang yang menjadi tanggung jawabnya. Seorang guru tidak hanya mengajar untuk memenuhi kewajiban profesionalnya, tetapi ia adalah pemimpin yang bertanggung jawab atas pendidikan dan pengembangan karakter murid-muridnya. Seorang pedagang tidak sekedar berdagang untuk mendapatkan keuntungan, tetapi ia adalah pemimpin yang bertanggung jawab atas kejujuran transaksi dan kualitas barang yang dijualnya.
Konsep kepemimpinan universal ini juga mengajarkan bahwa tidak ada alasan bagi siapa pun untuk tidak berperan aktif dalam mewujudkan kemaslahatan bersama. Setiap Muslim, dalam kapasitasnya sebagai pemimpin, memiliki kewajiban untuk memberikan kontribusi positif dalam lingkungan di mana ia berada. Dengan pemahaman ini, sikap apatis, tidak peduli, atau melepaskan tanggung jawab menjadi bertentangan dengan hakikat kepemimpinan dalam Islam. Setiap Muslim dituntut untuk menjadi agen perubahan yang konstruktif dalam lingkup kepemimpinannya masing-masing.
Dalam konteks bernegara dan bermasyarakat, pemahaman akan universalitas kepemimpinan ini menjadi fondasi bagi tegaknya tata kehidupan yang adil dan beradab. Ketika setiap warga negara menyadari dirinya sebagai pemimpin yang bertanggung jawab atas bidang dan perannya masing-masing, maka tercipta mekanisme kontrol sosial yang efektif. Kepemimpinan tidak lagi menjadi monopoli elit penguasa, melainkan menjadi tanggung jawab kolektif seluruh elemen masyarakat. Dengan demikian, cita-cita mewujudkan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur (negeri yang baik dan mendapat ampunan Tuhan) menjadi tanggung jawab bersama, bukan hanya tanggung jawab pemimpin formal.
Dalam tradisi tasawuf, konsep kepemimpinan universal ini juga berkaitan erat dengan prinsip "man 'arafa nafsahu faqad 'arafa rabbahu" (barangsiapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya). Kepemimpinan dimulai dari pengenalan dan penguasaan atas diri sendiri. Seorang Muslim yang mampu memimpin dirinya sendiri, mengendalikan hawa nafsunya, dan mengarahkan segenap potensinya untuk kebaikan, pada hakikatnya telah menjalankan bentuk kepemimpinan yang paling fundamental. Dari sinilah lahir kepemimpinan-kepemimpinan dalam bentuk yang lebih luas.
Hadits tentang universalitas kepemimpinan ini juga mengajarkan kita untuk tidak terjebak dalam ambisi meraih jabatan atau kekuasaan formal. Sebab, pada hakikatnya, setiap Muslim telah menjadi pemimpin dalam kapasitasnya masing-masing. Yang terpenting adalah bagaimana menjalankan kepemimpinan itu dengan penuh amanah, keadilan, dan kebijaksanaan. Dalam sebuah hadits lain, Rasulullah SAW bahkan memperingatkan agar tidak terlalu berambisi mendapatkan jabatan, karena jabatan adalah amanah yang berat dan akan dimintai pertanggungjawaban yang besar pula.
Dalam kesimpulannya, konsep universalitas kepemimpinan dalam Islam mengajarkan bahwa setiap Muslim, tanpa terkecuali, adalah pemimpin yang bertanggung jawab atas wilayah "kekuasaan"nya masing-masing. Pemahaman ini tidak hanya mengangkat martabat setiap Muslim sebagai khalifah Allah di bumi, tetapi juga membebankan tanggung jawab yang besar untuk menjalankan kepemimpinan itu dengan sebaik-baiknya. Sebagaimana pesan yang tersirat dalam hadits tersebut, kelak di akhirat, setiap Muslim akan dimintai pertanggungjawaban tentang bagaimana ia menjalankan amanah kepemimpinannya, sekecil apapun bentuknya.
Wallahu a'lam bishawab.

Penulis Indonesiana
5 Pengikut
Baca Juga
Artikel Terpopuler